Al-‘Uluw
Sifat al-‘Uluw merupakan salah satu dari Sifat-Sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dari-Nya. Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini -sebagaimana sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala lainnya- diterima dengan penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini Allah berada di ketinggian, di atas langit, di atas 'Arsy-Nya.
Asfal (أَسْفَل) adalah fi‘l tafdhil (bentuk superlatif) dari safala, yasfulu (سَفَلَ- يَسْفُلُ), atau safila, yasfalu (سَفِلَ- يَسْفَلُ), atau safula, yasfulu, suflan, siflan, sufulan, wa safalan (سَفُلَ- يَسْفُلُ- سُفْلا وَسِفْلاً- سُفُلاً- وَسَفَلاً). Menurut Ar-Ragib Al-Asfahani, Ibnu Faris, dan Ibnu Manzur, asfal (أَسْفَل = paling rendah) adalah lawan dari a‘la (أَعْلَى = paling tinggi). Sufl (سُفْلٌ = rendah) lawan dari ‘uluw (عُلُوٌّ = tinggi).`
Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya.
Di antara dalil dari Al-Qur’an As-Sunnah tentang sifat al-‘Uluw adalah:
1. Firman Allah Azza wa Jalla “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk : 16]
2. Firman Allah Azza wa Jalla “Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [An-Nahl : 50]
3. Firman Allah Azza wa Jalla “Sucikanlah Nama Rabb-mu Yang Mahatinggi.” [Al-A’laa : 1]
4. Firman Allah Azza wa Jalla “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]
5. Pertanyaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita:
“Dimana Allah?” Ia menjawab: “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.”
Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini:
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang Muslim: “Di mana Allah? ”Kedua, jawaban yang ditanya adalah: “Di (atas) langit” Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini, ber-arti ia memungkiri al-Mushthafa (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
6. Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj. Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata: “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antaranya ungkapan:
“Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).’
Kemudian naiknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi Rabb-nya, lalu didekatkan oleh Rabb kepada-Nya dan difardhukan shalat atasnya.”
7. Jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dzul Khuwasyirah:
“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?”
Maintaining a healthy long distance relationship can be a challenge without the right long distance relationship advice. It takes two mature people who are able to communicate in order to make it work. It will also take some sound long distance relationship advice, and that's where I come in.
In this article I've outlined some long distance relationship advice that you can do to make your relationship not only survive, but thrive. I've also compiled a few of the most common problems couples face and how to avoid falling into the same traps in your relationship.
The first part of the long distance relationship advice you and your partner need to do to ensure the continued strength of your relationship is to make sure you are both on the same page. Make sure you agree on whether or not you have an exclusive relationship. If one partner thinks it's ok to date while you are apart and the other one is staying monogamous, the relationship is doomed from the start.
For the most part, a couple won't even contemplate a monogamous long distance relationship unless both parties feel the relationship has the potential to be a long term one. There is no sense making this type of commitment unless you both feel that the other person might be 'the one'.
Another bit of long distance relationship advice you and your partner need to do is make sure you have good communication skills. When you are far away from each other for extended periods of time, and you can't have physical contact, you will have to rely solely on your communication skills to continue to build your relationship.
That is why long distance relationships, when they last, are some of the best relationships around. The couple has to learn to communicate effectively to make it work, and they don't get distracted by all the physical attraction. They are able to connect on a deeper level which can often lead to a more fulfilling relationship.
If you are an insecure person, though most people won't admit it if they are, you should avoid getting involved in a long distance relationship. Being in this type of relationship requires a great amount of trust, typically people who are insecure see a threat everywhere, even where there isn't one.
If you and your partner are overly suspicious, not only will your relationship be a constant battle, it will also be unlikely to work. No good relationship can be based on suspicion and insecurities.
You and your partner also need to be careful of the temptation to have a 'fling' with someone while away from your partner. Unless you both agree in advance that some extracurricular activity is ok (and if that's the case why bother pursuing a long distance relationship in the first place) than you should stay faithful to your partner.
If you want to maintain your long distance relationship you have to know ahead of time that it will be a challenge and you and your partner both have to be committed to making it work, but if you follow my long distance relationship advice you and your partner have a real shot of having a great, long term loving relationship.
Pertempuran Siffin antara Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyyah, yang akhirnya tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut terakhir bersedia untuk lari. ‘Amr ibn al-‘As yang terkenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Pihak Ali kalah setelah mengadakan arbitrase. Sebagian tentara Ali, mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Golongan yang memisahkan diri atau meninggalkan Ali bin Abi Thalib disebut golongan Khawarij, karena mereka memandang Ali bersalah dan berdosa besar. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu golongan Mu’awiyah dan golongan Khawarij. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam dunia politik itu akhirnya membawa kepada persoalan teologi. Dengan menekankan kepentingan sejarah terhadap masalah “kepercayaan” iman, Ibnu Taymiyyah, teolog dari Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa penelitian atas dua makna kata tersebut merupakan penelitian intern pertama yang terjadi diantara orang-orang Islam, karena masalah inilah maka masyarakat muslim terpecah ke dalam beberapa selok dan golongan, yang berbeda-beda dalam (menafsirkan) kitab suci dan sunnah sehingga satu sama lain saling menyebut kafir. Dan kelompok yang mula-mula masuk ke gelanggang ini adalah kelompok kharijiyyah atau Khawarij. Maka timbullah persoalan siapakah yang mukmin dan siapa yang kafir? Antara golongan yang satu dengan yang lainnya saling kafir mengkafirkan. Dari persoalan di atas menimbulkan beberapa aliran teologi dalam Islam. Mulai dari aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah dan masih ada lagi yang lainnya seperti Jabariyah dan Qodariyah.1 Antara aliran teologi yang satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda tentang pandangan mereka terhadap konsep iman dan kufur. Dalam makalah ini penulis akan mencoba mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan tentang konsep iman dan kufur adalah dua hal yang saling berkebalikan. Bila iman diartikan sebagai percaya, maka kufur diartikan tidak percaya atau bisa diartikan tertutup. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :ngan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur'dapat diputuskan oleh arbitrase manusia, tetapi harus datang dari All
1.Pengertian Iman
2.Pengertian Kufur
3.Pendapat Beberapa Aliran Teologi Islam tentang Iman dan Kufur
4.Macam-Macam Kufur
1.Pengertian Iman
Keimanan itu bukanlah semata-mata ucapan yang keluar dari lahir dan lidah saja, atau semacam keyakinan yang ada dalam hati. Tetapi keimanan yang sebenarnya adalah merupakan suatu akidah atau kepercayaan yang memenuhi seluruh isi hati nurani, dari situ timbul bekas-bekas atau kesan-kesannya, seperti cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Dalam al-Qur’an iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya.2 Iman dari segi lughat, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf 12, 17 yanga rtinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW yang diketahui dengan jelas sebnagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah. Iman dalam pengertian di atas telah diterima oleh seluruh ulama Islam, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, kata Imam Nawawi, jika seseorang membenarkan dengan hati dengan penuh yakin akan agama Islam, maka ia adalah orang mukmin dan orang tersebut tidak wajib mempelajari dalil-dalil untuk mengukuhkan iman atau makrifatnya kepada adanya Allah. Jadi, orang awam atau muqallid (مُقَـلِـّدْ ) juga termasuk ke dalam golongan mukmin. Pembenaran dan pengakuan itu tempatnya di dalam hati, yaitu setelah adanya makrifah atau ilmu, iman dalam arti yang demikian sama artinya dengan iktikad, yakni mengikat hati dalam kepercayaan kepada sesuatu yang telah diketahui wujud kebenarannya. Kaitan atau gantungan iman atau iktikad.3
Iman adalah :
(Ar = bentuk masdar atau kata kerja dari amana yu’minu = percaya, setia, aman, melindungi, dan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang aman)
hadits Rasul dari Bukhari
iman adalah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Kebangkitan dan Peraturan (qodo) dan qodar atau kuasanya.4
2.Pengertian Kufur
Kufur adalah kebalikan daripada iman. Dari segi lughat “kufur” artinya menutupi. Orang yang bersikap ‘kufur’ disebut kafir, yaitu orang yang menutupi hatinya dari hidayah Allah. Malam juga disebut ‘kafir’ karena malam menutupi orang dan benda-benda lain dengan kegelapannya.5 Dari segi syara’ kufur ada :
Kufur Akidah, ialah mengingkari akan apa yang wajib diimani, seperti iman kepada Allah, iman kepada Rasul, iman kepada Hari Akhirat, iman kepada Qodo dan Qodar, dan lain-lain. Firman Allah dalam surat an-Nisa / 4 : 136
وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا (النساء : 136)
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”
Dalam kufur akidah pun ada dua macam, yaitu kufur asli dan kufur setelah beriman. Kufur asli yakni orang belum pernah beriman ia menganut ajaran atau kepercayaan yang selain Islam. Kita wajib untuk mengajak orang tersebut untuk beriman kepada Allah dan menganut agama Islam, tetapi tidak boleh mengancam atau memaksa mereka untuk menyembah Allah dan memaksa mereka menganut Islam karena keimanan adalah hanya hidayah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Bahkan rasul pun tak dapat membuat pamannya Abu Thalib untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seperti yang tersebut dalam surat al-Qashash / 28 : 56 :
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ (القصص : 56)
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”.
Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa walaupun Nabi Muhammad seorang Rasul yang sangat dikasihi Allah, tetapi beliau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang dicintainya (pamannya / Abi Thalib), karena hidayah akan keimanan dalam hati hanyalah milik Allah SWT. Allahlah yang berhak memberi petunjuk keapda hamba-hambanya yang Dia kehendaki.
Murtad yaitu orang yang telah beriman dengan agama Islam, lalu ia keluar dari iman itu dengan memeluk agama lain. Kufur akidah yang seperti ini dapat menyebabkan orang kekal dalam neraka. Jadi, kufur akidah ialah tidak beriman kepada apa yang dengan jelas dan pasti sudah ditetapkan sebagai ajaran agama, seperti tidak beriman kepada rukun-rukun iman yang enam perkara itu. Juga orang dapat menjadi kafir akidah karena mengingkari kewajiban agama yang telah pasti ketetapannya seperti mengingkari wajib shalat, wajib puasa, dan lain sebagainya.6
Adapun pengertian kufur yang diambil dari Ensiklopedi Islam, yaitu :
Al-Kufr (tertutup) atau tersembunyi, mengalami perluasan makna menjadi “ingkar” atau tidak percaya, ketidakpercayaan kepada Tuhan. Kata kafir mengisyaratkan usaha keras untuk menolak bukti-bukti kebenaran Tuhan, yakni sebuah kehendak untuk mengingkari Tuhan, sengaja tidak mensyukuri kehidupan dan mengingkari wahyu.7
Berkata Izzuddin bin Abdissalam, bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang mukmin menjadi kafir, yaitu :
a.Beriman seperti iman orang kafir, misalnya tidak mengakui adanya Allah Yang Maha Esa dan kerasulan Nabi Muhammad SAW
b.Ucapan atau perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir, seperti membuang al-Qur’an dengan sengaja, pergi ke Gereja untuk beribadat, atau sujud kepada berhala
c.Mengingkari akan apa yang jelas diketahui sebagai ajaran agama, seperti mengingkari wajib shalat, wajib puasam, wajib haji dan sebagainya. Dan juga menghalalkan minum khomer, berjudi, zina dan sebagainya.
Demikianlah pengerian kufur dalam dua macamnya : kufur akidah dan kufur amaliyah yang disebut juga kufur nikmat.
Dalam al-Qur’an istilah kafir mempunyai pelbagai bentuk dan manifestasinya, yaitu :
a.Kafir ingkar, yaitu orang yang mengingkari kebenaran ajaran al-Qur’an, baik hal itu disadari sebagai suatu kebenaran atau belum disadarinya.
b.Kafir inad, yaitu orang yang tidak mau menerima kebenaran, walaupun ia menyadari bahwa itu adalah kebenaran
c.Kafir juhud, yaitu orang yang mengingkari kebenaran, sedangkan ia tahu bahwa itu adalah benar
d.Kafir nifaq, yaitu orang yang pura-pura menampakkan kebaikan, tetapi di dalam hatinya berisi kejahatan. Secara lahiriyah nampak Islam, tetapi hakikat isi hatinya mengingkari kebenaran ajaran Islam.
e.Kafir harbi, artinya kata harbi berlaku dalam hukum perang. Hal ini terjadi jika pihak musuh orang kafir yang dihadapinya belum menyerahkan diri atau belum mau menerima perdamaian atau perjanjian dengan kaum muslimin.
f.Kafir zimmi, arti kata zimmi yaitu tanggungan kaum muslimin. Hal ini berlaku dalam wilayah yang dikuasai oleh perdamaian atau perjanjian yang diberikan oleh kaum muslimin.
3.Pendapat Beberapa Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur
1.Konsep kaum Khawarij
Kaum Khawarij adalah kaum pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar dari barisan Ali, karena tidak setuju dengan kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim / arbitrase judge between parties to a dispute.
Dari persoalan politik, kemudian kaum khawarij memasuki juga persoalan teologi Islam. Menurut golongan Khawarij al-Muhakkimah, Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr ibn al-‘As dan Abu Musa al-‘Asy’ari adalah kafir.
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Dan menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah.
2.Menurut Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia bukan termasuk mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di hukum sebagai orang yang fasiq. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri antara dengan mengambil jalan tengah antara mukmin dan kafir. Ini berdasarkan pada:
a.Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan mengambil jalan tengah dalam segala sesuatu
b.Pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan sesuatu adalah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
c.Pendapat Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat antara baik dan buruk.
Golongan Mu’tazilah memperdalam jalan tengah ini dijadikan suatu prinsip rasionalitas ethis philosophis. Di akhirat nanti, orang mukmin yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat akan ditempatkan pada suatu tempat diantara surga dan neraka.
3.Menurut Ahlu Sunnah
Iman adalah orang yang mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna adalah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota. Menurutnya orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang tersebut masih termasuk mukmin. Bila orang itu mendapat ampunan dari Allah SWT, maka orang itu dimasukkan ke neraka, akan tetapi untuk sementara sebagai penebus dosa daripada akhirnya nanti akan dikeluarkannya untuk selanjutnya ke dalam surga. Orang mukmin bisa menjadi kafir apabila mengingkari rukun iman yang enam.8
Bagi kaum Asy’ariyah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban itu hanya melalui wahyu. Bagaimanapun iman hanyalah tasdiq dan pengetahuan tidak timbul kecuali setelah datangnya kabar yang dibawa wahyu bersangkutan.
Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan dengan tidak bertanya bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dalam ke-Tuhan-annya.9
A. Konsep Iman dan Kufur
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tashdiq (membenarkan), dan kufur – juga dari bahasa Arab – berarti takzib (mendustakan).
Menurut Hassan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
1. Ma’rifah bi al-aql, (mengetahui dengan akal).
2. Amal, perbuatan baik atau patuh.
3. Iqrar, pengakuan secara lisan, dan
4. Tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk pula di dalamnya ma’rifah bi al-qalb (mengetahui dengan hati).
Keempat istilah kunci di atas misalnya terdapat dalam hadis Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri:
من رأي منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الاءيمان (رواه مسلم)
Artinya:
“Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, hendaklah mengambil tindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, lakukanlah dengan ucapanmu. Jika itu pun tidak mampu, lakukanlah dengan kalbumu. (Akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah”[1]
(H.R. Muslim)
Dan kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
1. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan kufur ialah mendustakan di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama.
Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
2. Iman adalah tashdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang penting tashdiq dan ikrar.
Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
3. Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa konsep iman di kalangan teolog Islam berbeda-beda. Ada yang hanya mengandung satu unsur, yaitu tashdiq, sebagaimana terlihat pada konsep pertama di atas. Ada yang mengandung dua unsur, tashdiq dan ikrar, seperti konsep nomor dua. Ada pula yang mengandung tiga unsur, tashdiq, ikrar, dan amaliah, sebagaimana konsep nomor tiga di atas.
Di samping masalah konsep iman dan kufur, pembahasan di dalam ilmu tauhid/kalam juga menyangkut masalah apakah iman.itu bisa bertambah atau berkurang atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat.
1. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
2. Iman bisa bertambah atau berkurang. Ulama yang berpendapat seperti ini terbagi pula kepada dua golongan:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah atau berkurang itu adalah tashdiq dan amal.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa yang bertambah dalam iman itu hanya tashdiqnya.
Pada umumnya para ulama berpendapat, iman itu dapat bertambah pada tashdiq dan amalnya. Tashdiq yang bertambah tentu diikuti oleh pertambahan frekuensi amal.
Menurut sebagian ulama, bertambah atau berkurangnya tashdiq seseorang tergantung kepada:
1. Wasilahnya. Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan dterima oleh seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tashdiq-nya;
2. Diri pribadi seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil keimanan. Makin kuat daya serapnya, makin kuat pula tashdiq-nya. Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tashdiq-nya pun bisa lemah pula;
3. Pengamalan terhadap ajaran agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan merasakan kekeuatan iman/tashdiq yang tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tashdiq-nya.[2]
B. Perbandingan Antar Aliran: Iman dan Kufur
Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Dapaun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tajilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.
1. Khawarij
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman).
Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian orang mukmin yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, oleh dirampas hartanya. Demikianlah menurut faham Khawarij.[3]
Aliran Khwarij berpegang pada semboyan la hukma illa lillah menjadi asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang masih mukmin atau sudah kafir. Asas itu membawa mereka kepada paham, setiap orang yang melakukan perbuataun dosa adalah kafir, akrena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah. Dengan demikian, orang Islam yang berzina, membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah, memakan harta anak yatim, riba, dan dosa-dosa lainnya bukan lagi mukmin, ia telah kafir. Perbuatan dosa yang membawa kepada kafirnya seseorang menurut golongan ini terbatas pada dosa.[4]
2. Murji’ah
Aliran Murji’ah berpendapat, orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaiannya pada hari kiamat. Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy-Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[5]
Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.
a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.
b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.
Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.
Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur. Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.
c. Kelompok ketiga ini tidak dijelaskan.
d. Kelompok keempat itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.
e. Kelompok kelima ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.
f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang tauhid dan qadar.
g. Kelompok ketujuh ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.
Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.[6]
3. Mu’tajilah
Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tajilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi nerakanya agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mutazilah, orang mu’min yang berbuat dosa besar dan mati sebelum tobat, maka menempati tempat diantara dua tempat, yakni antara neraka dan surga (manzilatan bainal manzilatain).[7]
4. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tajilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).
Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka istilah al-nahl, ayat 106.
من كفر بالله من بعد أيمانه الأمن أكره و قلبه مطمئن بالإيمان
Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman. Seseorang yang berdosa besar tetap mukmin karena iman tetap berada dalam hatinya.[8]
5. Al-Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat al-Quran surat al-Hujurat 14.
Ayat tersebut dipahami al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.[9]
6. Ahlus Sunnah
Menurut Ahlus Sunnah, Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.
Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.
C. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah
Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, mahakuasa dan Maha Berkehendak. Keyakinan demikian disepakati oleh semua umat Islam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan itu. Apakah kehendak dan kekuasaan Tuhan itu bersifat mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan “tidak berkuasa mutlak”?.
Adapun berikut ini beberapa pendapat aliran-aliran mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yaitu:
1. Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai aliran rasionalis yang menempatkan akal pada posisi yang tinggi dan meyakini kemampuan akal untuk dapat memecahkan problema teologis, berpendapat, kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh Tuhan tidak mutlak sepenuhnya. Kekuasaan-Nya dibatasi oleh beberapa hal yang diciptakan-Nya sendiri. Hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan tersebut antara lain adalah:
a. Kewajiban-kewajiban Tuhan untuk menunaikan janji-janji-Nya seperti janji memasukkan orang yang saleh ke dalam surga dan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka. Tuhan wajib menepati janji ini. Dengan demikian, meskipun Tuhan berkuasa memasukkan orang jahat ke dalam surga, tapi kekuasaannya dibatasi oleh janji-Nya sendiri. Jika Tuhan paksakan juga memasukkan orang jahat ke dalam surga berarti Tuhan tidak adil dan melanggar janji.
b. Kebebasan dan kemerdekaan manusia untuk melakukan perbuatannya. Menurut Muktazilah, Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk melakukan perbuatan. Karena itu, manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusialah yang memilih dan menentukan, berbuat atau tidak, dan apa yang akan ia perbuat. Karena Allah sudah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia memilih dan menentukan perbuatannya itu, maka kekuasaan Tuhan terhadap perbuatan manusia itu tidak mutlak lagi.
c. Hukum alam. Allah menciptakan alam semesta ini dengan hukum-hukum tertentu yang bersifat tetap. Hukum-hukum itu biasanya dinamakan hukum alam, seperti matahari terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah Barat, benda tajam melukai, api membakar, dan lain-lain. Hukum alam – yang pada hakikatnya adalah hukum Allah karena Alah yang menciptakan hukum itu – sudah ditentukan oleh Tuhan. Dengan ketentuan tersebut, Tuhan tidak berkuasa mutlak lagi. Kekuasaanya-Nya dibatasi oleh hukum-hukum yang diciptakan-Nya sendiri.
2. Asy’ariyah
Pendapat Mu’tazilah di atas bertolak belakang dengan pendapat Asy’ariyah. Menurut Asy’ariyah. Tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada satupun yang membatasi kekuasaan-Nya itu. Karena kekuasaan Tuhan bersifat absolute, biasa saja Tuhan memasukkan orang jahat atau kafir ke dalam surga atau memasukkan orang mukmin yang saleh ke dalam nereka, jika hal itu memang dikehendaki-Nya. Apabila Tuhan berbuat demikian, menurut pendapat ini, bukan berarti Tuhan tidak adil. Keadilan Tuhan tidaklah berkurang dengan perbuatan-Nya itu sebab semua yang ada saja terhadap ciptaan dan milik-Nya.
Sebagai zat yang memiliki kekuasaan absolute dan mutlak, bagi Asy’ariyah, Tuhan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma keadilan, bahkan tidak terikat dengan janji-janji, norma-norma, bahkan tidak terikat dengan apa pun [10]
3 Maturidiyah
Sekalipun golongan ini tidak se ekstrem Asy’ariyah, yang memiliki paham yang dekat dengan Asy’ariyah. Golongan maturidiyyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, namun kemutlakannya tidak semutlak paham yang dianut oleh Asy’ariyah kemudian kelompok Maturidiyyah ini terbagi menjadi Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwa:
Tuhan tidak mungkin melanggar janji-janji-Nya memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat al-Bazdawi ini menunjukkan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana pendapat Asy’ariyah sebab masih terkandung adanya kewajiban Tuhan, yaitu kewajiban menepati janji.
Kalau Maturidiyyah Bukhara lebih dekat kepada pemikiran Asy’ariyah. Matudiridiyyah Samarkan lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah sekalipun tidak seekstrim Mu’tazilah. Bagi golongan ini, Tuhan memang memiliki kekuasaan mutlak, namun kekuasaan-Nya dibatas oleh batasan yang diciptakan-Nya sendiri. Batasan-batasan tersebut, menurut Prof. Dr. Harun Nasution adalah:
a. Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang, menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b. Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergenukan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya utnuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c. Keadaan hukuman-hukuman tuhan, sebagai kata al-Bazdawi, tak boleh tidak mesti terjadi.[11]